Senin, 18 Oktober 2010

AJARAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAN KODE ETIK KEPEGAWAIAN DALAM SUNAN ABI DAUD

Fithriady
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
Abu Dawud Al-Sijistani is one of the largest Muslim scholars in the third century AH, that color lines prosperity and progress of culture in the Abbasid era. One of his greatest author about hadith is book of Sunan. He relies this book under jurisprudence aspect and consists of eight hundred and four thousand hadiths. Researcher depends on the descriptive approach in the study of the historical features of government administration and the manners of the staff member in Sunan Abi Dawud, and by definition Abu Dawud al-Sijistan, his character, and his scientific and political morality gained in summary form. The researcher relies on survey methodology, in terms of collecting research material collectively statistically accurate as possible, especially in the book of the levy and shade and the emirate, and criticism board, and explain the conversations on the subject based on a brief explanation written explanation of Sunan as Aun al-Ma’bud and more. The hadiths that the Prophet peace be upon him has proved to political ethics and the state applied in the government administration and the manners of the employee. Must be for the imam to choose the minister to implement the state affairs. And workers adhere to his work, and avoid the corruption and bribery.

Kata Kunci: Pegawai, Hadits, Abu Dawud

I. PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang politik merupakan wacana yang selalu aktual dan tak akan berkesudahan karena keberadaannya secara fungsional dengan keberadaan masyarakat itu sendiri, dan manusia meminjam istilah filosuf Yunani, adalah zoon politicon (hewan ber-politik); artinya di mana pun dia berada, dia akan selalu berkutat dalam masyarakat politik dengan jenisnya sendiri.
Terlepas dari perdebatan apakah Islam menggariskan konsep yang baku tentang negara dan sistem politik atau tidak, tidak ada yang menyangkal bahwa Nabi Muhammad saw. tidak diutus hanya untuk mengajarkan ibadah dan akhlak, akan tetapi lebih dari itu beliau juga berjuang membangun komunitas sosial politik yang disegani di Madinah dan membawa ajaran-ajaran dan etika politik Islam. Dengan bahasa lain, di samping menjalankan fungsi dan peran sebagai Rasul penyampai risalah kepada umat manusia, Nabi saw. juga berperan menjadi kepala negara, panglima perang, hakim, tokoh masyarakat, suami, dan pribadi.
Karena itu, mengetahui hal-hal yang dilakukan Nabi saw. dengan mengaitkannya pada fungsi dan kapasitas beliau tatkala hal tersebut dilakukan, menurut Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip HM. Syuhudi Ismail, sangat besar manfaatnya, mengingat beliau adalah tokoh sentral dan sumber hadis.
Tulisan ini berupaya menggali jejak-jejak kenegarawanan dan ajaran-ajaran politik Rasulullah saw. dari lembaran-lembaran dokumen sejarah yang dihimpun oleh Imam Abu Dawud di dalam Sunan Abî Dâwud sebagai kitab kompilasi hadis yang diakui dan termasuk dalam Kutubussittah [Enam Kitab Hadis] yang menjadi rujukan utama umat Islam .
Dalam upaya tersebut, penulis menggunakan pendekatan sejarah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Heuristik: Mengumpulkan data dan sumber sejarah, yaitu hadis-hadis politik yang terdapat dalam Sunan Abî Dâwud.
Dari previewing yang penulis lakukan, dapat dikemukakan bahwa hadis-hadis politik pada Sunan Abî Dâwud dimuat secara dominan dalam Kitab al-Kharrâj wa al-Fai’ wa al-Imârah [Pajak, Rampasan Perang, dan Kepemimpinan Politik]. Kitab-kitab lain yang memuat hadis politik dalam muatan yang lebih kecil dan bersifat lebih umum adalah Kitab al-Jihâd, Kitab al-Malâhim, Kitab al-Fitan wa al-Malâhim, Kitab Adab al-Qadhâ’, Kitab al-Aqdhiyyah, Kitab as-Sunnah, hingga Kitab ash-Shaid.
Dari sini, penulis memutuskan untuk menfokuskan pencarian dan penyuntingan Ajaran tentang tatakelola pemerintahan dan kode etik kepegawaian pada Kitab al-Kharrâj wa al-Fai’ wa al-Imârah dalam Sunan Abî Dâwud.
B. Kritik sumber: Menjelaskan status hadis-hadis tersebut. Dalam hal ini, penulis mengikuti penilaian yang dilakukan oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani terhadap hadis-hadis tersebut. Apa yang dinyatakan shahih dan hasan penulis ambil sebagai data penelitian, sementara yang dinyatakannya dha’if bahkan dha’if sekali penulis sisihkan.
C. Interpretasi: Data-data yang terkumpul selanjutnya penulis tafsirkan dan jelaskan secara singkat.
Eksposisi: Hasil interpretasi tersebut kemudian penulis paparkan secara deskriptif dengan merujuk penjelasan yang diberikan oleh kitab-kitab syarah Sunan Abi Daud.

HADITS RAJAM DAN KEDUDUKANNYA DALAM FIQH ISLAM

Husni Mubarrak A. Latief
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
For some scholars, the rajam punishment that unmentioned in Qur'an remarked as justification of their opinions and thoughts that rajam has no foundation and basical reasons could be applied among Muslim society. In fact, we can find the basic of the implementation of rajam through exploring the Prophet tradition (Hadits) which shown us that the Prophet Muhammad Saw. had ever applied rajam law. Therefore, this article tries to refind and strengthen the mainstream legal opinion of Muslim scholars (Ulama) that rajam should be implemented among Muslim society for zina conductor who has a wife or husband (muhshan).

Kata kunci: hadits, hukuman rajam, fiqh Islam

I. PENDAHULUAN
Diskusi mengenai pemberlakuan hukuman rajam dalam konteks penerapan hukum syariat di Aceh, akhir-akhir ini kian menyedot perhatian publik. Hal ini bermula dari rapat paripurna legislatif Aceh (DPRA) periode 2004-2009 pada tanggal 14 September 2009 silam yang mensahkan Rancangan Qanun Jinayat Aceh, di mana dalam salah satu pasalnya termuat hukuman ('uqubat) rajam bagi pelaku zina yang telah menikah (muhshan). Isu pemberlakuan hukuman rajam itu lalu berlanjut panjang dan berlarut-larut setelah pihak eksekutif Aceh (Pemerintah Aceh) enggan untuk menandatangani dan mensahkannya menjadi qanun resmi yang mengikat (binding) bagi warga Muslim di Aceh dengan pelbagai alasan yang di-kemukakan.
Sungguhpun begitu, segala hujjah dan alasan penolakan eksekutif Aceh untuk menandatangani rancangan qanun tersebut—seperti alasan pem-berlakuan hukuman tersebut akan menghambat proses investasi dan laju pertumbuhan ekonomi di Aceh sebab menimbulkan rasa khawatir yang sangat—lebih merefleksikan sebuah sikap Islamophobia dan menjamurnya pemikiran liberal yang terlanjur duluan memberi stigma kekejaman dan keganasan praktik hukuman rajam yang tidak sejalan dengan pemenuhan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga pantas ditolak.
Rancangan Qanun Jinayat itu sendiri bukanlah sekali jadi, melainkan telah lama dibahas dan digodok di parlemen Aceh. Dengan melibatkan berbagai personel ahli dari kalangan akademisi, rancangan mengenai hukuman pidana yang berlandaskan syariat Islam itu mulai dibincangkan sejak 2007 silam. Hal ini tidak terlepas dari keleluasaan dan jurisdiksi yang lebih luas, diberikan kepada Aceh berkat kehadiran Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006.
Kehadiran UUPA telah menambah luas wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat di bidang jinayat (pidana) yang dikecualikan dari ketentuan umum sanksi ('uqubat) yang dapat dimuat dalam qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Izin dan kewenangan yang diberikan ini pun tak ayal dipahami sebagai kebolehan bagi Qanun Jinayat Aceh dalam menggunakan serta menuliskan semua norma dan sanksi yang ada dalam syariat Islam apa adanya, sepanjang hal itu dianggap perlu dan relevan.
Menariknya, buntut dari perdebatan panjang seputar pemberlakuan hukuman rajam itu di Aceh—akibat tidak ditandatanganinya rancangan Qanun Jinayat oleh pihak eksekutif—memiliki implikasi yang beragam, pada pelbagai level dan tataran. Mulai dari sikap dan pandangan menyetujui dan mendukung hukuman rajam yang ditampakkan oleh sebagian elit, khususnya dari kalangan anggota DPRA yang telah mensahkan rancangan qanun jinayat tersebut ; hingga pendapat sebagian ulama tradisional Aceh semisal Abu Panton (Teungku Ibrahim Bardan) yang menyatakan bahwa penerapan hukum syariat di Aceh perlu pembabakan dan tahapan (tadrijiy-yan) mulai dari pengenalan, sosialisasi, penerapan; hingga ada pula yang berpandangan ekstrim bahwa hukuman rajam tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam Islam mengingat tidak ada satupun ayat Al-Qur'an yang menyebut atau menyinggung secara eksplisit mengenai hukuman rajam.
Beragamnya pandangan di atas seolah menegaskan warna-warni konstalasi sosio-politik di Aceh akhir-akhir ini; bahwa sekalipun masyarakat Aceh pada mayoritasnya adalah pemeluk Islam, namun belum tentu sepenuhnya sepakat dengan aturan hukuman rajam itu. Bahkan ada upaya ekstrim untuk mengarusutamakan pandangan yang menafikannya dari hukum Islam dan tidak berdasar sama sekali.
Bahwa Al-Qur'an merupakan sumber rujukan utama dalam pem-bangunan hukum Islam, terang tak dibantah. Namun dalam kedudukannya itu, Al-Qur'an juga perlu ditopang oleh Sunnah dan Hadits Rasulullah Saw. yang berfungsi menguatkan dan menegaskan hukum yang disampaikan Al-Qur'an; menjelaskan hukum yang samar dalam Al-Qur'an; membatasi kemutlakan Al-Qur'an; atau bahkan men-takhsis keumuman Al-Qur'an.
Berangkat dari sini, dipandang perlu penelusuran pelbagai hadits Rasulullah Saw. yang memuat hukuman rajam guna menjelaskan kesamaran terselubung sekaligus sebagai counter terhadap pandangan yang menolak kesahihan hukuman rajam, yang mana pendapat itu hanya berlandaskan asumsi bahwa hukuman rajam sama sekali tak disebut dalam Al-Qur'an. Sebagaimana tulisan ini berkepentingan pula menjelaskan pandangan para fuqaha' yang tersimpan dalam khazanah fiqh Islam dalam rangka mem-peroleh kejelasan hukum Islam tentang hukuman rajam secara proporsional.

PERAN MUHAMMAD SAW DALAM SEBUAH PERIWAYATAN (Kajian Terhadap Konsep Sunnah Tasyri')

Salman Abdul Muthalib
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
Hadits as a life guidance has an important role in guiding the Ummah in order for them to always be in the right path. The birth of generations, who could not differentiate between the sayings of Muhammad as a prophet and as a human being, will burden the muslim who live in the era when ittiba’ rasul is weak. As a result, part of ummah leaves the sharia law in order to avoid law difficulties. From this point of view, the hadits of rasul has to be approached according to its situation or context. There should be a clear distinction between the sayings of Muhammad as a prophet and as a mere human being, so the hadits are applicable to any level of practice. This is compliant with the goal of tasyri’. Every condition and situation surrounding the birth of a hadits have to be put in consideration in understanding the hadits, so each hadits could be positioned appropriately. This matter needs to be analyzed accordingly, so that the ummah will be able to differentiate, which sayings have to be followed or left.

Kata Kunci: Hadis, Kontekstual

I. PENDAHULUAN
Sunnah pada dasarnya prilaku teladan dari seseorang tertentu. Dalam konteks hukum Islam, ia merujuk pada model prilaku Rasulullah. al-Qur’an meminta kepada Rasul untuk memutuskan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dengan dasar wahyu. Dengan demikian, maka otoritas pokok bagi legislasi Islam adalah al-Qur’an.
Meskipun demikian, al-Qur’an menyatakan bahwa Rasul adalah penafsir al-Qur’an. Sunnah Nabi merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat pribadi Rasul merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kenyataannya, setelah sepeninggal Rasul, sunnah Nabi yang suci itu telah menghadapi berbagai serangan sengit dari para musuh Islam. Dengan segenap kekuatan dan tipu muslihat, mereka berusaha membunuh dan menghancurkan sunnah dengan berbagai cara. Ada yang menanam keragu-raguan mengenai validitas sunnah, ada yang menyerang dengan menggugat otoritas sunnah dalam tasyri’, sebagian lain ada yang meng-hancurkan sunnah dengan mendistorsi asli makna hadis itu sendiri, yaitu menggunakan hadis sebagai dalil untuk masalah yang tidak relevan dengannya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, para ulama telah membuat kaidah-kaidah ilmu hadis agar terhindar dari noda-noda yang meng-hancurkan otentisitas sunnah Nabi. Kaidah-kaidah tersebut baik yang berkaitan dengan sanad maupun matan telah dirancang untuk melihat mana hadis-hadis yang terkategori dalam klasifikasi maqbul dan mana yang mardud, setelah hadis sudah dapat ditentukan mana yang benar-benar berasal dari Nabi dan yang bukan bersumber dari Nabi, persoalan lain yang muncul adalah bagaimana metode untuk memahami sunnah tersebut agar dapat diamalkan dalam tataran praktis. Salah satu metode pemahaman sunnah adalah dengan menggunakan konsep sunnah tasyri’iyyah dan non tasyri-’iyyah, membedakan apa yang bersumber dari Muhammad baik ucapan, prilaku dan keterangannya mempunyai kaitan dengan agama yang harus diikuti, atau hanya keterangan-keterangan yang tidak ada kaitannya dengan syariat dan tidak mengikat manusia untuk mengamalkannya.
Persoalan yang muncul di sini adalah seandainya orang-orang yang hidup jauh dari era Rasul dapat membedakan ucapan Nabi Muhammad sebagai sebagai Rasul dari ucapan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa, tidak ada permasalahan. Akan tetapi mengambil dan berkeyakinan bahwa ucapan Muhammad selaku manusia biasapun dianggap sebagai agama yang wajib diikuti atau dijauhi, akan memperbanyak beban hukum taklif syariat. Banyak hukum taklif tersebut akan menyulitkan orang-orang muslim yang hidup pada zaman sekarang yang tingkat mengikuti ajaran Rasul sudah mulai lemah. Sehingga seseorang akan menjadi malas dan kemudian meninggalkan hukum-hukum yang dianggap berat.
Berpijak dari pemikiran di atas, sunnah Nabi perlu dibedakan antara tasyri’iyyah (menetapkan hukum dan mengikat) dan non tasyri’iyyah (tidak menetapkan hukum dan tidak mengikat). Harus ada upaya membedakan ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang beragam tersebut agar dapat di-dudukkan pada porsinya masing-masing.
Mengingat persoalan ini sangat penting dan harus dipahami oleh pribadi-pribadi muslim dalam berpedoman pada sunnah Rasul, di mana seseorang mesti dapat membedakan mana antara sunnah itu yang harus dan wajib diamalkan, dan bagian mana boleh ditinggalkan, maka permasalahan ini dirasa sangat penting untuk dikaji, sehingga tujuan syariat yang ditetap-kan Allah dan Rasulnya tepat sasaran untuk umat manusia.
Dalam kajian ini, penulis ingin melihat klasifikasi isi sunnah sehingga dapat dipastikan bagian dari sunnah Nabi yang wajib dipedomani dalam kehidupan umat dan bagian yang dapat ditinggalkan, karena tidak ada kaitannya dengan agama.

MENAKAR KITAB “TAUTHIQ AL-SUNNAH FI AL-QARN AL-THANI AL-HIJRI (Ususuhu wa Ittijahatuhu)”

Fauzi Saleh
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
Sunnah is part of important pillar and the the second main resource in Islam after al-Qur’an. The book explained comprehensively how the ulemas position the sunnah especially in law field. The different ways based on diffirences of sanad al-hadits and also the view between living sunnah and sunnah in the books. However, the differences will impact the ijtihadiyyah of ulemas in reasoning the problems. The book will mention all these things and it will be seen some of lacks of the book especially the substance in explaination.

Kata kunci: sunnah, sanad, matan, ahad

I. PENDAHULUAN
Munculnya usaha-usaha untuk menjaga al-sunnah al-nabawiyah dan pemeliharaannya pada abad kedua hijrah dilatararbelakangi oleh sejumlah opini yang bertujuan untuk menenggelamkan sunnah dan menjauhkan kaum muslimin darinya dengan cara meragukan jalur penukilannya dan perawi-perawinya.
Terdapat sejumlah rentetan nama yang terukir dalam sejarah untuk melaksanakan maksud di atas, di antaranya: Malik bin Anas, Abu Hanifah, Abu Hanifah dan dua pengikutnya: Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Abu Yusuf, Ya`qub bin Ibrahim, al-Syafi‘iy, Sufyan Al-Thauriy, Ibn `Uyainah, Syu`bah bin al-Hajjaj, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Mu`in dan lainnya. Mereka telah menghasilkan karya-karya sunnah dan meletakkan kriteria-kriteria yang spesifik untuk membedakan antara hadits Rasulullah SAW dengan ucapan yang lainnya.
Namun kemudian timbul anggapan bahwa sebagian imam-imam itu sengaja meninggalkan hadits hanya karena suatu qiyas, amalan suatu negeri tertentu dan lainnya. Apakah anggapan itu berdasarkan fakta atau dalil pendukung, atau hanya sekedar penisbahan yang tak berdasar?. Hal inilah yang mendorong penulis – dengan segala kekurangan yang ada - untuk meresensi kitab Tauthiq al-Sunnah fi al-Qarn al-Thani al-Hijri, ususuhu wa ijtihahatuh (Otentisasi Sunnah Abad Kedua Hijrah, Asas Dan Arahannya) ini, sehingga jelas duduknya masalah terhadap tuduhan yang dilemparkan kepada para imam tersebut, yang pada hakekatnya telah berusaha memelihara sunnah itu sendiri.
Secara aksiologis, pembahasan ini kiranya dapat memberikan gambaran bagaimana pandangan imam-imam abad kedua hijrah berkenaan dengan sunnah al-Nabawiyah – dengan variasi tingkat otentitasnya itu - sebagai landasan istinbat hukum.
Adapun relevansinya dengan era sekarang ini, banyak orang yang membahas hadits ahad sebagai dalil hukum sebagaimana yang telah terjadi pada abad kedua hijrah. Kiranya beberapa respon ulama saat itu dapat menjadi pertimbangan kita untuk menjawab permasalahan seputar peng-gunaan hadits ahad. Mengingat dari sekian banyak hadits, hanya sedikit dikategorikan mutawatir dan masyhur, selebihnya adalah hadits ahad. Ini akan memberikan banyak distribusi dalam proses istinbat hukum.

PERAN DAN FUNGSI GURU MENURUT PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Anas Yulfan
STAIS Sepakat Segenep Kutacane Aceh Tenggara


ABSTRACT
Educators in the Koran is anyone who is responsible for the development of the students. In the Qur'an, the person most responsible for the education of children are parents (father and mother) protégé. The Qur'an greatly appreciate the knowledgeable people of knowledge, as well as the teaching profession, so that only those who deserve the same degree elevation and wholeness of life. The high role of teachers in view of the Qur'an is the realization of the teachings of Islam and Islam itself is to glorify the knowledge and apply it in life.

Kata Kunci: Fungsi Guru, Al-Qur’an

I. PENDAHULUAN
Sama dengan teori Barat, pemahaman pendidik dalam Islam ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dalam Islam, orang yang paling bertanggung jawab tersebut adalah orang tua (ayah dan ibu) anak didik. Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotor, kognitif, maupun potensi efektif. Potensi itu harus dikembangkan secara seimbang setinggi mungkin, menurut ajaran Islam.
Pengaruh pendidikan di dalam rumah tangga terhadap per-kembangan anak memang amat besar, mendasar dan mendalam. Akan tetapi, pada zaman modern ini pengaruh itu boleh dikatakan terbatas pada perkembangan aspek afektif, yaitu perkembangan sikap. Pengaruh pendidikan di sekolah juga besar dan luas serta mendalam, tetapi hampir-hampir hanya pada segi perkembangan aspek kognitif (pengetahuan) dan psikomotor (keterampilan). Pengaruh yang diperoleh anak didik di sekolah hampir seluruhnya berasal dari guru yang mengajar di kelas. Dalam konteks ini, guru yang dimaksud di sini adalah pendidik yang memberikan pelajaran kepada murid dengan mengasuh mata pelajaran tertentu di sekolah. Satu hal yang harus kita pegang bahwa guru tidak hanya memberikan pelajaran di sekolah, namun dalam pandangan Islam guru mempunyai peranan penting dan fungsi yang begitu besar selaku seorang pendidik.

KONSEP ZAKAT TANAMAN DALAM AL-QUR’AN (Suatu Interpretasi: Surat Al-An’am Ayat 141)

M. Akbar
STIT al-Hilal Sigli, Pidie Aceh.

ABSTRACT
Al-Quran (Al-An'am: 141), indicates the existence of a variety of crop and plant species, such as wine, pepper, dates, olives, sago, coconut, palm oil, cloves, nutmeg, rubber, coffee, tea, and forth. Similarly, there are a variety of fruits as a gift from God. This is all a gift of God to be utilized for the benefit of mankind. As expressions of gratitude and devotion to God's manifestation, then the charity is required to remove from plants and these fruits. From the interpretation of the verse, then the All jurists declared plants and plant zakat is obligatory, although they differ in determining the type.


Kata Kunci: Zakat Tanaman, al-Qur’an

I. PENDAHULUAN
Bumi diciptakan oleh Allah swt untuk kepentingan manusia sebagai sumber kehidupan, dan dilengkapinya dengan air, bermacam-macam tum-buh-tumbuhan (flora), juga binatang (fauna) yang bermacam-macam spesiesnya. Ada tumbuh-tumbuhan yang buahnya serupa bentuk dan warna tapi berbeda rasanya. Karena itu manusia yang menyadari kewajibannya selalu mensyukuri nikmat Allah yang dianugerahi kepada hamba-Nya. Dimanfaatkan dengan tidak berlebih-lebihan, sesuai menurut petunjuk Allah yang telah disampaikan melalui rasul-Nya.
Sikap orang kafir, membuat kedustaan terhadap syari,at, mengada-ada suatu aturan yang menyesatkan terhadap karunia Tuhan. sedangkan sikap orang mukmin tentu bukanlah seperti itu, menerima nikmat Allah dengan kesyukuran memanfaatkan dalam batas-batas ketentuan yang di-berlakukan-Nya. Maka berikut ini akan diuraikan tentang bagaimana seharusnya sikap dan tindakan orang mukmin' khususnya dalam hal kekayaan nabati yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kajian ini bertolak dari firman Allah dalam surat Al-An'am ayat 141 dan ayat-ayat yang lain yang berkenaan dengannya.




Artinya: "Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya zaitun dan delima yang serupa (bentuknya dan warnanya), dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya) dan janganlah kamu berlebih-lebihan. sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.

KARTU KREDIT DALAM HUKUM SYARIAH: Kajian Ayat dan Hadits terhadap Akad dan Ketentuannya

Azharsyah
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh

ABSTRACT
Banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit menimbulkan banyak sekali perbedaan pendapat tentang kebolehan penggunaan kartu kredit dalam ajaran Islam. Akibatnya para fuqaha masih berbeda pendapat dalam menentukan jenis dan jumlah akad yang bisa digunakan dalam transaksi kartu kredit. Menurut kebanyakan pendapat, penggunaan kartu kredit diperbolehkan dengan ketentuan akad yang digunakan tidak bertentangan dengan hukum Islam. Namun, para fuqaha berbeda pendapat dalam hal penjabaran jenis-jenis transaksi kartu kredit dan jenis akad yang tepat untuk dipakai dalam transaksi tersebut. Sedikitnya enam akad bisa digunakan dalam transaksi kartu kredit, yaitu akad kafalah, akad wakalah, akad hawalah, akad murabahah, akad qardh, dan akad ijarah.


Kata Kunci: Kartu kredit, Hukum Islam


I. PENDAHULUAN
Kartu kredit dewasa ini bukan lagi hanya sekedar gaya hidup, tetapi merupakan kebutuhan bagi masyarakat modern untuk menunjang semua aktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Semua keperluan bisnis maupun pribadi, mulai dari membiayai perjalanan dinas, menjamu klien hingga biaya kelahiran si kecil, belanja kebutuhan harian atau berlibur bersama keluarga tercinta, dapat dipenuhi oleh kartu kredit. Kartu kredit juga menjadi salah satu ciri dari gaya hidup modern yang serba cepat dan efisien.
Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, penggunaan kartu kredit merupakan hal yang sangat biasa dan umum digunakan dalam melakukan berbagai jenis transaksi dalam kehidupan sehari-hari, seperti berbelanja, membayar tagihan, bahkan untuk memberikan sumbangan. Di negara tersebut, penggunaan uang kas sudah relatif sangat berkurang sehingga penggunaan kartu kredit sebagai salah satu alat pembayaran sudah menjadi kebutuhan masyarakat sebagai pengganti uang yang relatif tidak efisien dan tidak aman untuk dibawa. Disamping faktor praktis tadi, kartu kredit juga berfungsi sebagai jaminan kepercayaan suatu bank atau issuer kepada pemegang kartu dalam hal penggunaan keuangan dari lembaga tersebut.
Di Indonesia, bisnis kartu kredit mengalami perkembangan yang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah kartu yang beredar saat ini telah mencapai lebih dari 10 juta kartu yang diterbitkan oleh 21 bank dan lembaga pembiayaan. Para issuer berusaha meningkat jumlah pemegang kartu dengan berbagai macam penawaran yang menarik, baik dari sisi joint-promo maupun fitur.
Kartu kredit (credit card) dalam bahasa Arab disebut bithaqah i’timan. Secara bahasa kata bithaqah (kartu) digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain yang di atasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu, sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya. Dalam kebiasaan dalam dunia usaha artinya semacam pinjaman, yakni yang berasal dari kepercayaan terhadap peminjam dan sikap amanahnya serta kejujurannya. Oleh sebab itu ia memberikan dana itu dalam bentuk pinjaman untuk dibayar secara tertunda.
Sebuah kartu kredit merupakan bagian dari suatu sistem pembayaran kartu plastik yang dikeluarkan kepada para pengguna sistem tersebut. Kartu tersebut memberikan hak kepada pemegangnya (card holder) untuk membeli barang dan jasa yang didasari pada janji si pemegang kartu untuk membayar barang dan jasa tersebut pada waktu yang sudah ditentukan. Penerbit kartu kredit (issuer) biasanya memberikan suatu batas kredit (credit limit) yang bisa digunakan oleh pemegang kartu untuk membayar tempat-tempat pembelanjaan (merchants) atau bisa juga digunakan sebagai cash advance bagi pengguna.
Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Kartu kredit pada hakikatnya merupakan salah satu instrumen dalam sistem pembayaran sebagai sarana mempermudah proses transaksi yang tidak tergantung kepada pembayaran kontan dengan membawa uang tunai yang berisiko.
Pada prinsipnya, cara pembayaran kartu kredit ada dua, yaitu pembayaran penuh (full payment) dan tidak penuh (minimum payment). Sistem pembayaran kartu kredit dewasa ini memakai sistem yang kedua yaitu minimum payment. Untuk kartu kredit yang menggunakan sistem full payment biasa dikenal dengan charge card. Charge card mewajibkan pembayaran dilakukan secara penuh tiap bulan atau sebelum jatuh tempo. Sedangkan credit card membolehkan pemegang kartu untuk menunda pembayaran penuh dan hanya wajib melunasi sejumlah pembayaran minimum dengan konsekuensi akan dikenakan biaya tambahan.

KONSEP THALAK DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Agustin Hanapi
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
Thalak (divorce) is something legally in Islam with a very rational reason, for the Good sake of couples (husband and wife) and also to safe them from the worst problem/condition. Even it`s legal, but thalak is the thing that hated in Islam. In fiqh paradigm, a husband can put thalak in every time and everywhere without consider in what place and condition. This point because thalak was understood as husband`s prerogative or husband`s privilege. But this paradigm was not relevance and not concordance with the Qur`an and hadith principle. The fiqh paradigm was influenced by the Arab`s tradition before Islam (Jahiliyah tradition). Base on this reality, to keep the maslahat for husband and wife who have the same position in front of Allah, the husband right`s to put thalak every where and every time should be limited or re arranged the husband can`t put thalak on this wife except he has enough rational reason for doing it. Thalak without any rational reason must be forbidden or illegal. If we refer to Qur`an principle, it`s says that husband can`t put thalak on his wife without any rational reason or any dharurat condition. Al-Qur’an also reveal that there is many step/phase should be taken before thalak, uch as advice, marriage mediation with islah and also the wife not in her period (menstruation).


Kata Kunci: Thalak, al-Qur’an, Fiqh


I. PENDAHULUAN
Thalak diakui dalam ajaran Islam sebagai suatu jalan terakhir keluar dari kemelut dalam rumah tangga bagi pasangan suami-isteri, di mana suatu mudharat bagi kedua belah pihak atau bagi salah satunya akan terjadi bila tidak dilakukan. Thalak baru diperbolehkan bilamana tidak ada jalan lain, atau besar dampak negatifnya dalam memecahkan kemelut rumah tangga yang dengan jalan musyawarah tidak berhasil dan saling mengalah di antara kedua mereka. Walaupun demikian, Islam tidak menyukai terjadinya thalak. thalak adalah suatu perbuatan yang dibolehkan, tetapi dibenci oleh Syari’. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadis:
” أبغض الحلال الى الله الطلا ق”
Artinya: Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah menjatuhkan thalak. (Ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram min Adillat al-Ahkam, 2002, hal. 198)
Hal itu juga dipahami dari sikap Rasul saw, di mana setiap ada sahabat datang kepadanya yang ingin men-thalak isterinya, Rasulullah selalu menunjukkan rasa tidak senangnya, seraya berkata:
Abgadul halali ’indallahi at-Thalaq (hal yang halal tapi sangat dibenci oleh Allah adalah thalak). Thalak dilakukan dengan tujuan menolak terjadinya mudharat yang lebih jauh, atau hanyalah untuk suatu tujuan maslahat.
Nash-nash berikut merupakan teks yang menjelaskan tentang dilakukannya thalak bila jalan yang lain tidak bisa ditempuh;
Firman Allah dalam surat an-Nisa ayat 35
وان خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله و حكما من أهلها ان يريدا اصلحا يوفق الله بينهما ان الله كان عليما خبيرا.
Artinya: ”Dan jika kamu khawatir akan ada persengketaan antara keduanya (suami-isteri), maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa 35)
Kemudian dalam surat lain dijelaskan
\ياأيهاالنبي اذا طلقتم النساء فطلقوهن لعدتهن واحصوا العدة واتقواالله ربكم لآتخرجوهن من بيوتهن ولآيخرجن الآ أن يأتين بفاحشة مبينة وتلك حدودالله ومن يتعد حدودالله فقد ظلم نفسه لآتدري لعل الله يحدث بعد ذلك امرا .`
Artinya: Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, maka sungguh, ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.
Ayat al-Qur’an di atas menegaskan bahwa thalak adalah sesuatu yang dibolehkan bila adanya kebutuhan untuk itu. Namun dalam pembahasan fiqh (klasik) penjatuhan thalak sangat longgar, tidak terikat dengan kondisi waktu dan tempat, karena hak thalak sepenuhnya berada di tangan suami, sehingga dia boleh menggunakan wewenang tersebut kapan saja. Karena menurut mayoritas ulama fiqh thalak benar-benar bersifat pribadi, boleh dilakukan dengan cara sesuka hati suami. Selain itu, dalam fiqh disebutkan bahwa thalak sekiranya dipermainkan maka dianggap sah, baik secara putusan hakim (qodhoan) dan keyakinan agama (diyanatan). Karena yang namanya hukum Tuhan tidak boleh dipermainkan. Berdasarakan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik untuk mengkaji bagaimana thalak dalam perspektif al-Qur’an.
Dalam pandangan ulama tafsir bahwa thalak harus memenuhi beberapa tahapan, artinya thalak merupakan sebuah alternatif terakhir seperti tidak adanya keharmonisan, kasih sayang antara suami isteri. Dan ini semua dilakukan demi menyelamatkan dan salah satu solusi untuk keluar dari kemelut rumah tangga, yang mana bila tidak menempuh cara selain thalak bisa berdampak negatif bagi pasangan suami isteri.

APLIKASI TEORI DOUBLE MOVEMENT FAZLUR RAHMAN DALAM INTERPRETASI AL-QUR'AN

Nurkhalis
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
The development of paradigm of modern scientific has a significant impact on the development of Qur'an interpretation. It is the meaning of a given statement by studying the historical situation or problem to which it was the answer now. A case in point is the influence of its text which has led to a thought that context is no longer deemed as merely a social reality called constextualization; instead, context is also a metaphysical reality. The shift of jurisprudence paradigm from textual interpretation to human understanding is considered in line with Islamic thoughts on jurisprudence. This is because: first, Islamic jurisprudence requires the combination of historical consciousness and contextualization understanding; second, the shortcoming of author, text and reader approach necessitates a par excellence approach i.e. their combination; third, religious morality plays an important role in forming a social order. Fazlur Rahman has been extended a new grand theory of double movement. Whereas the first movement has been from the specifics the Qur'an to the elicting and systematizing of its general principles, values, and long-range objectives, the second is to be from this general view to the specific view that is to be formulated and realized now.

Kata Kunci : Hermeneutika, double movement, Islam

I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya Hermeneutika merupakan sebuah metode kritik eksploratif untuk menginterpretasikan realitas teks-teks Kitab Suci baik secara implisit maupun eksplisit di mana Kitab Suci dipandang mempunyai kedudukan sebagai ultimate truth (kebenaran yang Agung) namun dalam realitas hermeneutika merupakan suatu teori filsafat tentang interpretasi makna dikenal sebagai salah satu model spesifik analisa yakni sebagai pendekatan filosofis terhadap pemahaman manusia. Fokus analisa hermeneutika adalah persoalan makna teks atau yang dianalogikan sebagai teks. Bahasa menjadi acuan way of being bagi manusia dalam menggali kebenaran. Keterbatasan manusia dalam mengungkapkan bahasa Kitab Suci sering suatu pemahaman menjadi invaliditas dan semi validitas tetapi setiap interpreter mengakui klaim kevaliditasnya.
Aplikasi hermeneutika dalam pemahaman Al-Qur'an merupakan sebuah keniscayaan sejarah sebagai sebuah evolusi metodologis dari triadik metode penafsiran yang dikembangkan oleh umat Islam, yaitu tafsir takwil hermeneutika. Artinya, sebagai sebuah perangkat metodologis pembacaan Al-Qur'an, hermeneutika merupakan bagian integral perjalanan panjang sejarah perkembangan ilmu-ilmu Al-Qur'an. Sejumlah gagasan konseptual dalam tradisi hermeneutika seperti keharusan mempertimbangkan konteks sosial pembaca maupun teks, konsep teks itu sendiri, keragaman potensial makna teks, mempertimbangkan kondisi audiens sebagai sasaran teks merupakan kumpulan konsep yang erat kaitannya, bahkan tidak lain merupakan dari istilah-istilah metodologis yang terdapat dalam tradisi kajian 'Ulum Al-Qur'an.
Penggunaan hermeneutika dalam Al-Qur’an memberikan orientasi ekspansif pemahaman Al-Qur’an dari having religious ke being religious dan being human. Konsep having religious lebih menitik-beratkan pada formalisme agama, sedangkan being religious dan being human lebih menitikberatkan pada substansi dan nilai agama. Kemudian dilakukan suatu transformative value melalui critical thinking yang bersandar pada landasan atau perspektif kemaslahatan kontemporer. Kecenderungan Al-Qur’an dipahami selama ini lebih dominan sebagai kajian hukum Islam (fiqh) dengan pendekatan teoritis dan normatif dapat disebut melihat hukum dalam konteks law in books, yaitu suatu pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena normatif dalam rangka pencarian atau penemuan asas dan doktrin hokum, sementara kecenderungan terapan yang bersifat sosiologis dapat dipahami sebagai model pemahaman yang melihat hukum dalam kerangka law in action, yaitu suatu pemahaman yang melihat hukum sebagai fenomena sosial.
Perubahan sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan dan hukum yang terjadi dalam dunia Islam yang berinteraksi dengan dunia internasional non-Islam, selalu melibatkan proses dialektika yang intensif antara great tradition (tradisi besar) pada wilayah alam pikiran, konsep, ide, teori, keyakinan, dan gagasan. Sedangkan little tradition (tradisi kecil) yang merupakan wilayah aplikasi praktis di lapangan dari teori, konsep, ide, keyakinan dan gagasan tersebut dalam wilayah kehidupan konkrit pada budaya dan tatanan sejarah tertentu. Perubahan (change) akan terjadi ketika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang besar dibandingkan dengan tradisi keilmuan yang telah ada dan mapan sebelumnya. Jika tradisi baru yang datang mempunyai kekuatan dan daya dorong yang lebih kecil dibandingkan kekuatan tradisi keilmuan yang lama, maka yang terjadi adalah tidak adanya perubahan.
Oleh karena itu, perubahan yang sangat mendesak dalam Dunia Islam yaitu pengalihan pemahaman Al-Qur’an dari hukum Islam (Fiqh) yang sifatnya teoritis dan normatif berkisar pada formalisme agama Islam menjadi hukum Islam yang kontekstual sesuai dengan sosiologis legal formal sekarang ini. Kontribusi teori double movement Fazlur Rahman mencoba melakukan terobosan baru dengan merekonstruksi pemahaman terhadap Al-Qur’an yang compatible dengan kehidupan kontemporer melalui metode penafsiran hermeneutika.

METODE TAFSIR FI ZHILALIL QUR’AN DAN KONTEKSTUALISASI PENAFSIRAN AL-QUR'AN

Bukhari Abdus Shomad
Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung


ABSTRACT
Quthb interpreted the Quran verse by verse, start from the first juz to the last one. He began with interpreting Surah Al-Fatihah to the end of Surah, i.e. Surah An-Naas. This way of interpreting Quran is commonly known as Tafsir Tahlili. Zhilal as a book of interpretation is different –in its method and style- from other books. The method used in the book is thematic interpretation which brings out the concept of universality of Islam, world, men and social system. In Zhilal, besides explaining the verses of Quran, from its literature’s view, Quthb also wanted to show that Quran is actually source of power of every single step of human being.

Kata Kunci: al-Qur’an, Tafsir, Said Quthb

I. PENDAHULUAN
Quthb sebagai seorang intelektual abad 20-an, tergolong sangat produktif dalam melahirkan karya tulisnya. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa karyanya yang menjadi rujukan banyak orang terutama bagi Ikhwan al-Muslimin. Pemikiran cerdasnya banyak mempengaruhi ma-syarakat Islam, khususnya kalangan mahasiswa. Quthb dalam menulis karya-karyanya mengerahkan segenap pikiran dan perasaannya. Kecakapannya dalam mengungkapkan pemikirannya dalam bidang agama sama baiknya dengan kecakapannya dalam sastra. Selama hidupnya, ia telah menghasilkan karya lebih dari dua puluh buku selain artikel-artikel yang tersebar di berbagai media cetak.