Senin, 18 Oktober 2010

PERAN MUHAMMAD SAW DALAM SEBUAH PERIWAYATAN (Kajian Terhadap Konsep Sunnah Tasyri')

Salman Abdul Muthalib
Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
Hadits as a life guidance has an important role in guiding the Ummah in order for them to always be in the right path. The birth of generations, who could not differentiate between the sayings of Muhammad as a prophet and as a human being, will burden the muslim who live in the era when ittiba’ rasul is weak. As a result, part of ummah leaves the sharia law in order to avoid law difficulties. From this point of view, the hadits of rasul has to be approached according to its situation or context. There should be a clear distinction between the sayings of Muhammad as a prophet and as a mere human being, so the hadits are applicable to any level of practice. This is compliant with the goal of tasyri’. Every condition and situation surrounding the birth of a hadits have to be put in consideration in understanding the hadits, so each hadits could be positioned appropriately. This matter needs to be analyzed accordingly, so that the ummah will be able to differentiate, which sayings have to be followed or left.

Kata Kunci: Hadis, Kontekstual

I. PENDAHULUAN
Sunnah pada dasarnya prilaku teladan dari seseorang tertentu. Dalam konteks hukum Islam, ia merujuk pada model prilaku Rasulullah. al-Qur’an meminta kepada Rasul untuk memutuskan persoalan-persoalan yang dihadapi kaum muslim dengan dasar wahyu. Dengan demikian, maka otoritas pokok bagi legislasi Islam adalah al-Qur’an.
Meskipun demikian, al-Qur’an menyatakan bahwa Rasul adalah penafsir al-Qur’an. Sunnah Nabi merupakan penafsiran al-Qur’an dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat pribadi Rasul merupakan perwujudan dari al-Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kenyataannya, setelah sepeninggal Rasul, sunnah Nabi yang suci itu telah menghadapi berbagai serangan sengit dari para musuh Islam. Dengan segenap kekuatan dan tipu muslihat, mereka berusaha membunuh dan menghancurkan sunnah dengan berbagai cara. Ada yang menanam keragu-raguan mengenai validitas sunnah, ada yang menyerang dengan menggugat otoritas sunnah dalam tasyri’, sebagian lain ada yang meng-hancurkan sunnah dengan mendistorsi asli makna hadis itu sendiri, yaitu menggunakan hadis sebagai dalil untuk masalah yang tidak relevan dengannya.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, para ulama telah membuat kaidah-kaidah ilmu hadis agar terhindar dari noda-noda yang meng-hancurkan otentisitas sunnah Nabi. Kaidah-kaidah tersebut baik yang berkaitan dengan sanad maupun matan telah dirancang untuk melihat mana hadis-hadis yang terkategori dalam klasifikasi maqbul dan mana yang mardud, setelah hadis sudah dapat ditentukan mana yang benar-benar berasal dari Nabi dan yang bukan bersumber dari Nabi, persoalan lain yang muncul adalah bagaimana metode untuk memahami sunnah tersebut agar dapat diamalkan dalam tataran praktis. Salah satu metode pemahaman sunnah adalah dengan menggunakan konsep sunnah tasyri’iyyah dan non tasyri-’iyyah, membedakan apa yang bersumber dari Muhammad baik ucapan, prilaku dan keterangannya mempunyai kaitan dengan agama yang harus diikuti, atau hanya keterangan-keterangan yang tidak ada kaitannya dengan syariat dan tidak mengikat manusia untuk mengamalkannya.
Persoalan yang muncul di sini adalah seandainya orang-orang yang hidup jauh dari era Rasul dapat membedakan ucapan Nabi Muhammad sebagai sebagai Rasul dari ucapan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa, tidak ada permasalahan. Akan tetapi mengambil dan berkeyakinan bahwa ucapan Muhammad selaku manusia biasapun dianggap sebagai agama yang wajib diikuti atau dijauhi, akan memperbanyak beban hukum taklif syariat. Banyak hukum taklif tersebut akan menyulitkan orang-orang muslim yang hidup pada zaman sekarang yang tingkat mengikuti ajaran Rasul sudah mulai lemah. Sehingga seseorang akan menjadi malas dan kemudian meninggalkan hukum-hukum yang dianggap berat.
Berpijak dari pemikiran di atas, sunnah Nabi perlu dibedakan antara tasyri’iyyah (menetapkan hukum dan mengikat) dan non tasyri’iyyah (tidak menetapkan hukum dan tidak mengikat). Harus ada upaya membedakan ucapan-ucapan Nabi Muhammad yang beragam tersebut agar dapat di-dudukkan pada porsinya masing-masing.
Mengingat persoalan ini sangat penting dan harus dipahami oleh pribadi-pribadi muslim dalam berpedoman pada sunnah Rasul, di mana seseorang mesti dapat membedakan mana antara sunnah itu yang harus dan wajib diamalkan, dan bagian mana boleh ditinggalkan, maka permasalahan ini dirasa sangat penting untuk dikaji, sehingga tujuan syariat yang ditetap-kan Allah dan Rasulnya tepat sasaran untuk umat manusia.
Dalam kajian ini, penulis ingin melihat klasifikasi isi sunnah sehingga dapat dipastikan bagian dari sunnah Nabi yang wajib dipedomani dalam kehidupan umat dan bagian yang dapat ditinggalkan, karena tidak ada kaitannya dengan agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar