Senin, 18 Oktober 2010

HADITS RAJAM DAN KEDUDUKANNYA DALAM FIQH ISLAM

Husni Mubarrak A. Latief
Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh


ABSTRACT
For some scholars, the rajam punishment that unmentioned in Qur'an remarked as justification of their opinions and thoughts that rajam has no foundation and basical reasons could be applied among Muslim society. In fact, we can find the basic of the implementation of rajam through exploring the Prophet tradition (Hadits) which shown us that the Prophet Muhammad Saw. had ever applied rajam law. Therefore, this article tries to refind and strengthen the mainstream legal opinion of Muslim scholars (Ulama) that rajam should be implemented among Muslim society for zina conductor who has a wife or husband (muhshan).

Kata kunci: hadits, hukuman rajam, fiqh Islam

I. PENDAHULUAN
Diskusi mengenai pemberlakuan hukuman rajam dalam konteks penerapan hukum syariat di Aceh, akhir-akhir ini kian menyedot perhatian publik. Hal ini bermula dari rapat paripurna legislatif Aceh (DPRA) periode 2004-2009 pada tanggal 14 September 2009 silam yang mensahkan Rancangan Qanun Jinayat Aceh, di mana dalam salah satu pasalnya termuat hukuman ('uqubat) rajam bagi pelaku zina yang telah menikah (muhshan). Isu pemberlakuan hukuman rajam itu lalu berlanjut panjang dan berlarut-larut setelah pihak eksekutif Aceh (Pemerintah Aceh) enggan untuk menandatangani dan mensahkannya menjadi qanun resmi yang mengikat (binding) bagi warga Muslim di Aceh dengan pelbagai alasan yang di-kemukakan.
Sungguhpun begitu, segala hujjah dan alasan penolakan eksekutif Aceh untuk menandatangani rancangan qanun tersebut—seperti alasan pem-berlakuan hukuman tersebut akan menghambat proses investasi dan laju pertumbuhan ekonomi di Aceh sebab menimbulkan rasa khawatir yang sangat—lebih merefleksikan sebuah sikap Islamophobia dan menjamurnya pemikiran liberal yang terlanjur duluan memberi stigma kekejaman dan keganasan praktik hukuman rajam yang tidak sejalan dengan pemenuhan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), sehingga pantas ditolak.
Rancangan Qanun Jinayat itu sendiri bukanlah sekali jadi, melainkan telah lama dibahas dan digodok di parlemen Aceh. Dengan melibatkan berbagai personel ahli dari kalangan akademisi, rancangan mengenai hukuman pidana yang berlandaskan syariat Islam itu mulai dibincangkan sejak 2007 silam. Hal ini tidak terlepas dari keleluasaan dan jurisdiksi yang lebih luas, diberikan kepada Aceh berkat kehadiran Undang-undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No. 11/2006.
Kehadiran UUPA telah menambah luas wewenang dan otonomi bagi Aceh dalam menyusun qanun syariat di bidang jinayat (pidana) yang dikecualikan dari ketentuan umum sanksi ('uqubat) yang dapat dimuat dalam qanun asalkan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain. Izin dan kewenangan yang diberikan ini pun tak ayal dipahami sebagai kebolehan bagi Qanun Jinayat Aceh dalam menggunakan serta menuliskan semua norma dan sanksi yang ada dalam syariat Islam apa adanya, sepanjang hal itu dianggap perlu dan relevan.
Menariknya, buntut dari perdebatan panjang seputar pemberlakuan hukuman rajam itu di Aceh—akibat tidak ditandatanganinya rancangan Qanun Jinayat oleh pihak eksekutif—memiliki implikasi yang beragam, pada pelbagai level dan tataran. Mulai dari sikap dan pandangan menyetujui dan mendukung hukuman rajam yang ditampakkan oleh sebagian elit, khususnya dari kalangan anggota DPRA yang telah mensahkan rancangan qanun jinayat tersebut ; hingga pendapat sebagian ulama tradisional Aceh semisal Abu Panton (Teungku Ibrahim Bardan) yang menyatakan bahwa penerapan hukum syariat di Aceh perlu pembabakan dan tahapan (tadrijiy-yan) mulai dari pengenalan, sosialisasi, penerapan; hingga ada pula yang berpandangan ekstrim bahwa hukuman rajam tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam Islam mengingat tidak ada satupun ayat Al-Qur'an yang menyebut atau menyinggung secara eksplisit mengenai hukuman rajam.
Beragamnya pandangan di atas seolah menegaskan warna-warni konstalasi sosio-politik di Aceh akhir-akhir ini; bahwa sekalipun masyarakat Aceh pada mayoritasnya adalah pemeluk Islam, namun belum tentu sepenuhnya sepakat dengan aturan hukuman rajam itu. Bahkan ada upaya ekstrim untuk mengarusutamakan pandangan yang menafikannya dari hukum Islam dan tidak berdasar sama sekali.
Bahwa Al-Qur'an merupakan sumber rujukan utama dalam pem-bangunan hukum Islam, terang tak dibantah. Namun dalam kedudukannya itu, Al-Qur'an juga perlu ditopang oleh Sunnah dan Hadits Rasulullah Saw. yang berfungsi menguatkan dan menegaskan hukum yang disampaikan Al-Qur'an; menjelaskan hukum yang samar dalam Al-Qur'an; membatasi kemutlakan Al-Qur'an; atau bahkan men-takhsis keumuman Al-Qur'an.
Berangkat dari sini, dipandang perlu penelusuran pelbagai hadits Rasulullah Saw. yang memuat hukuman rajam guna menjelaskan kesamaran terselubung sekaligus sebagai counter terhadap pandangan yang menolak kesahihan hukuman rajam, yang mana pendapat itu hanya berlandaskan asumsi bahwa hukuman rajam sama sekali tak disebut dalam Al-Qur'an. Sebagaimana tulisan ini berkepentingan pula menjelaskan pandangan para fuqaha' yang tersimpan dalam khazanah fiqh Islam dalam rangka mem-peroleh kejelasan hukum Islam tentang hukuman rajam secara proporsional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar